KUPI II
KUPI II

Lima tahun berlalu sejak Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I digelar pada 2017 silam, kini penyelenggaraan KUPI II sudah di depan mata. KUPI merupakan ruang perjumpaan para Ulama Perempuan Indonesia dari beragam latar belakang pendidikan dan organisasi yang bersifat non partisan, inklusif, partisipatoris, lintas organisasi, lintas generasi, lintas latar belakang sosial dan pendidikan.

Adapun, kegiatan yang berlangsung di Cirebon, Jawa Barat pada April 2017 itu menghasilkan tiga fatwa/rekomendasi yang meliputi pencegahan pernikahan usia anak, penghapusan kekerasan seksual, serta pencegahan kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial.

Rekomendasi KUPI terkait pencegahan perkawinan usia anak dipakai sebagai salah satu rujukan untuk meningkatkan usia minimal pernikahan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Aturan terkait usia minimal seseorang sah secara hukum untuk menikah itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sementara fatwa terkait penghapusan kekerasan seksual,mendorong parlemen khususnya partai politik Islam untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang.

KUPI II dijadwalkan berlangsung pada 23-26 November 2022 di Kota Semarang dan Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kegiatan diselenggarakan atas kerja sama Alimat, Perhimpunan Rahima, Fahmina, AMAN Indonesia dan Gusdurian.

Ketua SC KUPI II, Ruhah Masruchah, mengungkapkan bahwasanya agenda ini menjadi ruang  refleksi ulama perempuan, sekaligus konsolidasi pengetahuan ulama perempuan Indonesia dan seluruh dunia. Dua acara besar yakni Konferensi Internasional dan KUPI II akan diikuti sekitar 1.500 peserta dari seluruh daerah di Indonesia. Selain itu, pada perhelatan akbar bertajuk “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Membangun Peradaban yang Berkeadilan” ini akan hadir pula puluhan ulama perempuan dari 37 negara.

“Lima tahun sejak kita melakukan kongres, jadi lesson learn. Gerakan KUPI juga menjadi referensi pengambil kebijakan karena KUPI telah melakukan refleksi terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat selama ini,” ujar Ruhah dalam konferensi pers yang digelar secara hibrid, pada Senin (21/11/2022).

Sekretaris SC KUPI II, Faqihuddin Albdulkodir menegaskan KUPI II adalah bentuk konsolidasi pengetahuan dan gerakan ulama perempuan selama lima tahun terakhir, untuk meneguhkan peran ulama perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiai Faqih, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa istilah ulama perempuan tidak terbatas pada ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi seluruh ulama yang memiliki perspektif perempuan.

Istilah keulamaan tidak hanya merujuk pada mereka yang menguasai ilmu agama, tetapi juga mereka yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan kehidupan dalam arti luas.

“Gerakan ulama perempuan hendak memastikan pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi otoritas dalam pengetahuan dan keimanan,” tutur Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu.

OC KUPI II sekaligus Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah menyebut KUPI sebagai gerakan yang unik karena menawarkan pemikiran transformatif terkait sejumlah persoalan yang selama ini meminggirkan peran dan posisi perempuan, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

“Dunia sedang bergejolak dengan protes dalam berbagai hal. Salah satunya, kejadian di Iran yang ramai sampai sekarang. Perempuan di Iran bersatu mengritisi rezim yang memaksakan jilbab,” tuturnya.

Rezim otoritatian Iran memaksa perempuan berjilbab dengan alasan menutup aurat di mana pelaksanaannya mengorbankan hak bahkan nyawa perempuan. Kasus di Iran itu juga ditemukan di banyak negara lain dengan kadar masing-masing.

Menurut Ruby, KUPI mencoba menyoroti masalah dengan metodologi khasnya sendiri. Metodologi KUPI mengutamakan penyelamatan jiwa dan perlindungan bagi yang lemah dibanding hal-hal yang hanya bersifat simbolik.

Menariknya, kehadiran para ulama perempuan dari 37 negara yang mewakili benua Eropa, Asia, Afrika dan Amerika ini bukan sebagai tamu, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari KUPI II. “Perhelatan KUPI tidak hanya membahas problem tetapi membuka ruang untuk merefleksi sejauh mana keberhasilan ulama perempuan dalam mewujudkan keadilan bagi kelompok lemah yang mayoritas adalah perempuan,” imbuh Ruby.

Dia menegaskan, metodologi khas KUPI yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan perempuan serta melibatkan lintas ilmu, relevan bagi perjuangan keharmonisan hubungan antaragama.

KUPI II ingin meletakkan pondasi kerja sama Indonesia dengan dunia internasional di masa depan sejak saat ini. Harapannya, semua pihak yang ambil bagian dalam KUPI II akan terus berkontribusi pada upaya menciptakan kehidupan global yang berkeadilan.

Direktur Rahima, Pera Sopariyanti menambahkan, kepesertaan KUPI II lebih luas dengan bergabungnya Jaringan Gusdurian, AMAN Indonesia, serta UIN Walisongo. Selain itu, ada penambahan delegasi luar negeri yang pada KUPI I berasal dari 12 negara kini menjadi 37 negara dengan jumlah peserta hampir dua kali lipat. KUPI II juga melibatkan kaum muda yang bakal menjadi pemeran penting untuk membangun peradaban.

“Mereka punya potensi melakukan perubahan. Mereka kita jadikan agent of change,” ungkap Pera.

Wakil Rektor UIN Walisongo, M Mukhsin Jamil, mengatakan bahwa gerakan KUPI telah memberikan konteks sangat bagus bagi kegiatan pendidikan yang lebih berperspektif gender.

“Konteks bagi penelitian yang berdimensi sosial kultural yang lebih berperspketif perempuan juga memberikan konteks dalam pengabdian masyarakat,” tuturnya.

Adapun lima isu krusial yang menjadi bahasan utama dalam KUPI II yakni peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme; pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan. Kelima isu ini akan ditelaah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman perempuan.

Diikuti Ribuan Peserta

Ketua SC KUPI II, Ruhah Masruchah, mengungkapkan bahwasanya agenda ini menjadi ruang  refleksi ulama perempuan, sekaligus konsolidasi pengetahuan ulama perempuan Indonesia dan seluruh dunia. Dua acara besar yakni Konferensi Internasional dan KUPI II akan diikuti sekitar 1.500 peserta dari seluruh daerah di Indonesia. Selain itu, pada perhelatan akbar bertajuk “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Membangun Peradaban yang Berkeadilan” ini akan hadir pula puluhan ulama perempuan dari 37 negara.

“Lima tahun sejak kita melakukan kongres, jadi lesson learn. Gerakan KUPI juga menjadi referensi pengambil kebijakan karena KUPI telah melakukan refleksi terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat selama ini,” ujar Ruhah dalam konferensi pers yang digelar secara hibrid, pada Senin (21/11/2022).

Sekretaris SC KUPI II, Faqihuddin Albdulkodir menegaskan KUPI II adalah bentuk konsolidasi pengetahuan dan gerakan ulama perempuan selama lima tahun terakhir, untuk meneguhkan peran ulama perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiai Faqih, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa istilah ulama perempuan tidak terbatas pada ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi seluruh ulama yang memiliki perspektif perempuan.

Istilah keulamaan tidak hanya merujuk pada mereka yang menguasai ilmu agama, tetapi juga mereka yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan kehidupan dalam arti luas.

“Gerakan ulama perempuan hendak memastikan pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi otoritas dalam pengetahuan dan keimanan,” tutur Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu.

Tawarkan Tranformasi Pemikiran

OC KUPI II sekaligus Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah menyebut KUPI sebagai gerakan yang unik karena menawarkan pemikiran transformatif terkait sejumlah persoalan yang selama ini meminggirkan peran dan posisi perempuan, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

“Dunia sedang bergejolak dengan protes dalam berbagai hal. Salah satunya, kejadian di Iran yang ramai sampai sekarang. Perempuan di Iran bersatu mengritisi rezim yang memaksakan jilbab,” tuturnya.

Rezim otoritatian Iran memaksa perempuan berjilbab dengan alasan menutup aurat di mana pelaksanaannya mengorbankan hak bahkan nyawa perempuan. Kasus di Iran itu juga ditemukan di banyak negara lain dengan kadar masing-masing.

Menurut Ruby, KUPI mencoba menyoroti masalah dengan metodologi khasnya sendiri. Metodologi KUPI mengutamakan penyelamatan jiwa dan perlindungan bagi yang lemah dibanding hal-hal yang hanya bersifat simbolik.

Menariknya, kehadiran para ulama perempuan dari 37 negara yang mewakili benua Eropa, Asia, Afrika dan Amerika ini bukan sebagai tamu, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari KUPI II. “Perhelatan KUPI tidak hanya membahas problem tetapi membuka ruang untuk merefleksi sejauh mana keberhasilan ulama perempuan dalam mewujudkan keadilan bagi kelompok lemah yang mayoritas adalah perempuan,” imbuh Ruby.

Dia menegaskan, metodologi khas KUPI yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan perempuan serta melibatkan lintas ilmu, relevan bagi perjuangan keharmonisan hubungan antaragama.

KUPI II ingin meletakkan pondasi kerja sama Indonesia dengan dunia internasional di masa depan sejak saat ini. Harapannya, semua pihak yang ambil bagian dalam KUPI II akan terus berkontribusi pada upaya menciptakan kehidupan global yang berkeadilan.

Libatkan Kaum Muda

Direktur Rahima, Pera Sopariyanti menambahkan, kepesertaan KUPI II lebih luas dengan bergabungnya Jaringan Gusdurian, AMAN Indonesia, serta UIN Walisongo. Selain itu, ada penambahan delegasi luar negeri yang pada KUPI I berasal dari 12 negara kini menjadi 37 negara dengan jumlah peserta hampir dua kali lipat. KUPI II juga melibatkan kaum muda yang bakal menjadi pemeran penting untuk membangun peradaban.

“Mereka punya potensi melakukan perubahan. Mereka kita jadikan agent of change,” ungkap Pera.

Wakil Rektor UIN Walisongo, M Mukhsin Jamil, mengatakan bahwa gerakan KUPI telah memberikan konteks sangat bagus bagi kegiatan pendidikan yang lebih berperspektif gender.

“Konteks bagi penelitian yang berdimensi sosial kultural yang lebih berperspketif perempuan juga memberikan konteks dalam pengabdian masyarakat,” tuturnya.

Adapun lima isu krusial yang menjadi bahasan utama dalam KUPI II yakni peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme; pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan. Kelima isu ini akan ditelaah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman perempuan.

Sumber: merdeka.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini