KONGRES Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II akan diselenggarakan di Semarang-Jepara pada 23-26 November 2022. Kongres yang mengangkat masalah sosial kemasyarakatan itu akan membahas berbagai isu penting yang menjadi tantangan bangsa Indonesia dan kaum perempuan khususnya ke depan.
Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI sekaligus Ketua Umum Pelaksana KUPI II, Masruchah, mengungkapkan bahwa ada lima isu krusial yang menjadi perhatian ulama perempuan. Kelima isu tersebut, yakni pengelolaan sampah, kepemimpinan perempuan, pemaksaan perkawinan anak dan perempuan, perlindungan jiwa perempuan akibat perkosaan, dan bahaya pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan.
“Ke depan bukan hal yang gampang diselesaikan, jadi diperlukan konsolidasi lagi melihat situasi ke depan. Kalau KUPI I bicara soal peran ulama perempuan, KUPI II sudah ke arah konsolidasi. Temanya Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan. Jadi pengakuannya sudah ada, sekarang perannya diperkuat,” ujarnya kepada Media Indonesia, Minggu (18/9).
Dijelaskannya, pengelolaan sampah merupakan bagian dari upaya menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga keberlanjutan. Hal ini dinilai penting dan berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan. “Isu kepemimpinan, muaranya kepemimpinan perempuan dalam merawat bangsa dari ideologi intoleran dan kekerasan. Ini karena radikalisme berdampak pada isu kepemimpinan perempuan,” jelasnya.
Menurut Masruchah, isu kepemimpinan perempuan disuarakan ulama perempuan terkait dengan menguatnya isu radikalisme. Lantas perempuan harus punya peran yang lebih banyak di ruang-ruang itu. Ulama perempuan terlibat dalam gerakan sosial, mulai dari perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lain terkait kasus-kasus kekerasan seksual. Ulama perempuan selalu menyuarakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, termasuk di lingkungan pendidikan informal dan pesantren.
“Isu ini penting diangkat (kepemimpinan perempuan). Sebenarnya ketika perempuan ada di ruang-ruang strategis itu, kebijakan itu akan turun misalnya menyuarakan problem-problem perempuan. Ini karena yang mengetahui persoalan perempuan itu perempuan sendiri,” tegasnya.
Berikutnya isu pemaksaan perkawinan pada anak dan perempuan. Kasus-kasus ini, kata dia, masih banyak ditemukan di daerah-daerah. Pihaknya sudah melakukan diskusi dan kajian-kajian dengan ulama-ulama perempuan di daerah. Isu keempat adalah perlindungan jiwa perempuan akibat perkosaan. Kasus ini lumayan banyak dialami remaja maupun dewasa. “Saya kira ini yang menjadi bahasan di UU TPKS,” imbuhnya.
Poin kelima terkait bahaya pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan. Persoalan ini masih terjadi di Tanah Air dan lembaga internasional melaporkan angkanya masih cukup tinggi.
Kelima isu tersebut diharapkan bisa menjadi pandangan keagamaan atau fatwa dari KUPI II. Selanjutnya ini bisa menjadi masukan bagi pemangku kebijakan dalam menyikapi persoalan tersebut ke depan. “Selain itu ada rekomendasi dari hasil diskusi paralel, dakwah kekinian jaringan muda ulama perempuan soal hak-hak PRT, peran perempuan lintas iman dan lainnya,” kata dia.
Lebih lanjut, Masruchah mengatakan bahwa persiapan saat ini sudah lebih dari 60%, termasuk fasilitas dalam pelaksanaan konferensi. Peserta yang diundang diperkirakan mencapai 1.200 orang dari 20 negara dan seluruh daerah di Indonesia. Terdapat lima lembaga atau organisasi yang menjadi penyelenggara, yakni Rahimah, Fahmina Institute, Alimat, Aman Indonesia, dan Gusdurian.
KUPI kali ini merupakan yang kedua kalinya setelah sukses digelar pada 2017 dengan menghasilkan tiga pandangan keagamaan atau fatwa, salah satunya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Hal itu menjadi pijakan atau referensi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan. “Hadir Perpu 16/2019 tentang pendewasaan usia perkawinan itu juga menggunakan referensi dari KUPI. Terkait dengan larangan kekerasan seksual, pandangan keagamaan KUPI juga menjadi pertimbangan DPR ketika proses rancangan UU TPKS dibahas, KUPI juga diundang beberapa kali,” terangnya.
“Kelebihannya, fatwa atau pandangan keagamaan KUPI menggunakan pilihan yang unik saya kira. Itu menggunakan pengalaman korban, ini kekhasannya dan juga konstitusi RI. Artinya sejumlah perundangan itu juga menjadi pertimbangan, tidak semata Al-Qur’an, hadis, dan misalnya pandangan ulama, tetapi juga konstitusi dan pengalaman korban,” tambah Masruchah.
Kehadiran ulama perempuan juga membantu kerja-kerja pemerintah sehingga baik pemerintah, organisasi keagamaan seperti MUI, PB NU, PP Muhammadiyah sangat mendukung gerakan yang sudah dicanangkan sejak 2010. Bahkan KUPI mendapat apresiasi dari negara-negara lain seperti Afganistan. “Ulama perempuan tidak semata dia berkelamin perempuan, tetapi siapa pun yang punya kepedulian terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, tetapi ini semua kembali pada pesan Islam. Artinya bukan sosok secara perempuan tetapi bisa laki-laki atau perempuan,” tandasnya.
Sumber: mediaindonesia.com