Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang akan dilaksanakan pada 23-26 November 2022 di Jepara pada waktu mendatang ini, akan membahas 5 isu utama.
Salah satu hal yang sangat penting untuk dibahas adalah pelibatan perempuan dalam merawat bangsa dari ekstrimisme.
Pada fokusnya, KUPI menganggap bahwa hal ini sangat penting dalam upaya merawat bangsa dari ekstrimisme yang berdampak terhadap kepemimpinan perempuan.
Perlu diketahui bahwa, model berpikir yang digunakan dalam konteks ini adalah ekstremisme menyebabkan peminggiran terhadap perempuan dengan alasan bahwa ekstremisme akan membatasi peran perempuan di ranah publik. Hal ini ditegaskan oleh Nyai Masruchah sebagai berikut:
“Jadi perspektif (ekstremisme) ini yang kemudian merumahkan perempuan, karena perempuan dianggap tidak boleh keluar rumah,” kata Nyai Masruchah kepada Republika di sela-sela Halaqah Nasional Menjelang KUPI II di Jakarta, Rabu (19/10/2022) (Republika.id).
Seperti yang diketahui bahwa, berdasarkan Perpres No 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme (RAN PE) ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme merupakan keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.
Jadi terorisme merupakan tindakan nyata dan merupakan hasil eskalasi dari paham keyakinan ekstremisme berbasis kekerasan.
Berdasarkan pengertian ini, tidak heran mengapa ekstremisme ini sangat mengancam posisi perempuan sebagai kelompok masyarakat yang rentan diajak masuk dalam golongan tersebut.
Ajaran ekstremisme kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme sudah menjadi ancaman keamanan negara global.
Pada mulanya anggapan bahwa ekstremisme kekerasan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, kini sangat bisa dilakukan oleh perempuan.
Maka dari itu, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi ekstremisme tidak dapat digeneralisasi pada pendekatan yang digunakan oleh laki-laki.
Perlu pendekatan yang khusus untuk mengatasi ekstremisme pada perempuan.
Sementara itu, Lies Marcoes dalam tulisannya yang berjudul, “Seperti Memakai Kaca Mata yang Salah” membahasakan para perempuan yang menjadi istri teroris, sebagian yang lain bertugas untuk memproduksi tentara Tuhan untuk meneruskan perjuangan orang tuanya.
Artinya, pemanfaatan sistem reproduksi yang dimiliki oleh perempuan, menjadi satu hal yang mutlak dalam aksi terorisme.
Di sisi lain, para perempuan teroris yang lain, justru hadir di ranah publik untuk menjinakkan bom seperti yang dilakukan oleh teroris laki-laki.
Bagaimanapun, peran keduanya sangat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Kerentanan perempuan menjadi pengikut ajaran ekstremisme kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme, bisa dilihat dari relasi yang dibangun dalam hidupnya.
Apabila sang suami adalah adalah orang yang berpaham ekstremis, maka bisa dipastikan, ia juga akan ikut pada paham tersebut.
Akan tetapi, terjadi pola yang berbeda kepada perempuan (belum bersuami) ketika tergerus oleh paham ekstremisme.
Hal ini bisa melalui internet, lingkungan, circle pertemanan, ataupun faktor yang lain.
Maka dari itulah, perempuan sangat rentan terpapar ekstremisme dan ini akan berdampak terhadap kepemimpinan perempuan dalam ranah publik.
Ke depan, hasil dari KUPI II yang membahas tentang kepemimpinan perempuan dalam konteks ekstremisme ini, bisa menjadi salah satu acuan yang bisa dimanfaatkan oleh para perempuan Indonesia untuk bergerak dan berkontribusi bagi bangsa Indonesia.
Rekomendasi yang dihasilkan nantinya, bisa menjadi rujukan untuk memaksimalkan upaya penanganan ekstremisme terhadap perempuan.
Masalah ini menjadi ancaman global ketika melihat berbagai negara internasional menyatukan suara untuk melawan terorisme yang dilatarbelakangi oleh faktor agama.
Maka dari itu, KUPI II adalah titik ejawantah dari langkah dan gerak perempuan Indonesia untuk melihat lebih jauh problematika kebangsaan yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Wallahu a’lam. []
Sumber: Peran Perempuan dalam Merawat Kebangsaan (hidayatuna.com)