Anggota Organizing Committee (OC) KUPI II Ruby Kholifah mengatakan KUPI sebagai gerakan unik yang mampu menawarkan pemikiran transformatif terkait sejumlah persoalan yang selama ini masih meminggirkan peran dan posisi perempuan, tak hanya yang ditemukan di Indonesia tetapi juga di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Ia juga menyebut, gerakan KUPI telah menginspirasi ulama perempuan di sejumlah negara, dalam menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia.
“Dunia sedang bergejolak dengan protes dalam berbagai hal. Salah satu yang menjadi sorotan adalah apa yang terjadi di Iran yang ramai sampai sekarang. Di mana perempuan di Iran bersatu mengkritisi rezim yang memaksakan jilbab,” ucap Ruby, dalam keterangannya, Selasa (22/11/2022).
Berangkat dari kejadian memilukan tersebut, ia mengajak, kepada publik untuk paham bahwa nyawa perempuan jauh lebih penting daripada pemaksaan pengenaan jilbab demi alasan menutup aurat. Apa yang terjadi di Iran ini juga banyak ditemukan di banyak negara lain dengan kadarnya masing-masing.
“KUPI dengan metodologinya yang berbeda, coba menyoroti semua masalah itu dengan cara yang berbeda. Di mana penyelamatan jiwa dan perlindungan bagi yang lemah harusnya jauh lebih penting ketimbang sekadar hal-hal yang bersifat simbolik,” tegas Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kehadiran para ulama perempuan dari 37 negara yang menghadiri konferensi internasional KUPI II, mewakili benua Eropa, Asia, Afrika dan Amerika ini bukan sebagai tamu, tetapi menjadi bagian dari KUPI II. Kehadiran mereka karena punya kepedulian terhadap gerakan yang dilakukan KUPI.
“Perhelatan KUPI ini tidak hanya membahas problem tetapi membuka ruang untuk merefleksi sejauh mana keberhasilan ulama perempuan dalam mewujudkan keadilan bagi kelompok lemah yang mayoritas adalah perempuan,” jelas anggota majelis KUPI itu.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa kesetaraan gender dalam soal iman yang diperjuangkan KUPI tidak bisa dipisahkan dengan demokrasi. “Demokrasi seharusnya bisa memilih orang yang tepat yang dapat mendorong moderasi dalam beragama,” tegas dia.
Metodologi khas KUPI, tambah dia, yang tak hanya didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan perempuan tapi juga melibatkan lintas ilmu yang relevan bagi perjuangan keharmonisan hubungan antaragama atau interfaith.
“KUPI II ingin meletakkan pondasi kerjasama dengan dunia internasional di masa yang akan datang mulai sekarang. Diharapkan semua pihak yang mengambil bagian dalam KUPI II ini akan terus berkontribusi di masa yang akan datang,” imbuh Ruby.
Sebagai informasi, konferensi internasional sebagai bagian dari agenda Kongres KUPI II akan menghadirkan kurang lebih 500 peserta nasional dan internasional untuk membaca jejak-jejak positif tentang keulamaan perempuan (lintas iman) dalam mempromosikan kesetaraan gender, HAM Perempuan dan teologi inklusif. Konferensi akan berlangsung pada 23 November 2022 di UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah.
Sumber: nu.or.id