YOGYA UPDATE – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama kali digelar di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, tahun 2017.
Setelah kongres pertama itu digelar, KUPI yang awalnya adalah kegiatan sebuah kongres kemudian alami transformasi menjadi sebuah gerakan yang mengakar di tengah masyarakat.
Makanya, untuk memperkuat posisi perempuan dalam peradaban, KUPI akan kembali diselenggarakan pada 23- 26 November 2022 di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah.
“KUPI II mengambil tema ‘Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Perdaban yang Berkeadilan’,” kata Nyai Badiriyah Fayumi, dikutip dari rilis yang diterima, Minggu, 11 September 2022.
Menurut Nyai Badiyah, KUPI menjadi momentum historik yang menyatukan inisiatif-inisiatif komunitas dan lembaga-lembaga yang bergerak pada pemberdayaan perempuan.
“Mereka bergerak itu adalah kalangan akademisi, aktivis organisasi keislaman, praktisi pemberdayaan di akar rumput, bahkan para aktivis gender,” tegas Nyai Badriyah yang menjadi Ketua Steering Commite (SC) KUPI.
Bagi Nyai Badriyah, KUPI juga menginspirasi lahirnya komunitas-komunitas ulama perempuan di berbagai daerah.
“Komunitas itu adalah Komunitas Ngaji Keadilan Gender Islam, Komunitas Mubadalah, simpul dan komunitas ulama perempuan Rahima, jaringan perempuan pengasuh pesantren dan mubalighat, jaringan ibu nyai nusantara, jaringan ning-ning nusantara, dan yang lain,” tegasnya.
Bukan hanya itu, lanjutnya, isu-isu keadilan gender Islam, melalui tokoh-tokoh KUPI, juga diserap media-media populer yang mainstream di Indonesia.
“Kelahiran KUPI, juga sekaligus seperti membuka jalan bagi membanjirnya berbagai konten kreatif isu-isu keadilan gender Islam, yang sebelumnya sangat minim, bahkan bisa dibilang tidak tersedia,” kata Nyai Badriyah yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Quran wal Hadis, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Pada Kongres yang ke-2 nanti, lanjutnya, akan diadakan Musyawarah Keagamaan KUPI yang akan membahas dan memutuskan fatwa tentang lima isu krusial.
“Lima hal itu, pertama, adalah peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstrimisme. Kedua, pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan,” katanya.
Yang ketiga, lanjutnya, adalah perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.
“Yang keempat adalah perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Sedangkan yang kelima adalah perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan,” pungkas Nyai Badriyah yang juga Wakil Sekjen MUI Pusat.***
Sumber:
https://www.yogyaupdate.com/nasional/pr-6874673323/bukan-sebatas-kongres-kupi-bertransformasi-jadi-gerakan-yang-mengakar-di-masyarakat