Isu pekerja rumah tangga (PRT) menjadi salah satu perhatian utama ulama perempuan Indonesia sejak lama. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, yang dimulai pada Kamis (24/11/2022), menjadi momentum konsolidasi ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Bahkan agenda pertemuan dengan tajuk Merumuskan Strategi Bersama untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT digelar pagi hari sebelum KUPI II resmi dibuka malam harinya. Hal ini menunjukkan keseriusan KUPI II memperjuangkan hak-hak pekerja rumah tangga di Indonesia.
“Kalau selama ini kita memperjuangkan hak pekerja rumah tangga yang berada di luar negeri, kenapa yang di dalam negeri tidak? Padahal mereka sama-sama rentan,” tutur Direktur Rahima, Pera Sopariyati dalam konferensi pers yang digelar di area Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri, Kamis siang.
Perjuangkan Hak Pekerja Rumah Tangga
Ketua III KUPI II itu menegaskan bahwa memperjuangkan hak pekerja rumah tangga menjadi bagian dari misi keislaman KUPI II.
”Pekerja rumah tangga juga manusia. Dia adalah warga negara dan memiliki hak yang sama,” tegasnya.
Dalam relasi kuasa, kata dia, pekerja rumah tangga berada di posisi paling rendah karena ada orang yang mempekerjakannya. Posisi orang-orang yang mempekerjakan pekerja rumah tangga ini tak jarang membuat mereka berlaku semena-mena. Oleh karena itu, KUPI II memandang perlindungan terhadap pekerja rumah tangga adalah hal mendesak.
“PRT sangat rentan karena jam kerja yang panjang, rentan mendapatkan kekerasan seksual. Hal-hal tersebut menjadi alasan Rancangan Undang-Undang (RUU) PPRT harus segera disahkan,” imbuh Pera.
RUU PPRT di antaranya mengatur hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja rumah tangga sebagai penerima kerja. Mulai dari pemberian upah layak, waktu libur, dan relasi antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga.
”Harusnya dalam konstitusi, semua kelompok manusia terlindungi dan tidak ada yang lebih unggul,” pungkasnya.
Refleksi
Sementara itu, selain menggelar acara diskusi untuk merumuskan strategi bersama mendorong pengesahan RUU PPRT, pada waktu sama di tempat berbeda juga diselenggarakan diskusi bertajuk “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Merawat dan Mengokohkan Persatuan Bangsa” dan “Temu Tokoh Agama dalam Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Memperkuat Kebangsaan”.
Direkur Fahmina Institute sekaligus penyelenggara KUPI II, Rosidin, mengungkap bahwa penyelenggaraan diskusi bersama (halaqah) digelar sebelum pembukaan dengan tujuan menangkap proses yang menjadi kelemahan dalam advokasi para ulama perempuan.
”Merefleksi 5 tahun ke belakang pascapelaksanaan KUPI I di Cirebon, KUPI berhasil mendorong disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan peningkatan usia perkawinan anak. Namun belum berhasil mendorong pengesahan RUU PPRT,” jelas Rosidin.
Advokasi terhadap perlindungan pekerja rumah tangga, kata dia, sudah dilakukan para ulama perempuan Indonesia penggagas KUPI sejak 2004 silam. Proses yang hingga kini belum membuahkan hasil itu menjai refleksi bagi gerakan KUPI.
Isu Kebangsaan dan Ekstremisme
Selanjutnya, problem kebangsaan dan ancaman ekstremisme juga menjadi tantangan Indonesia. KUPI menggandeng Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai mitra strategis untuk isu kebangsaan dan ekstremisme, untuk kemudian memperkuat jaringan KUPI di akar rumput menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang meneguhkan keindonesiaan.
”Saat ini, KUPI memiliki sejumlah ulama perempuan di akar rumput hingga majelis taklim,” kata Rosidin.
Perwakilan Jaringan GUSDURian Nasional, Suraji menambahkan, halaqah ini menjadi ruang untuk memperkokoh peran tokoh agama memperkuat kebangsaan.
”Hal lainnya yang menjadi fokus dalam halaqah saat ini adalah memperkuat prinsip kesetaraan,” ujarnya.
Pihaknya ingin merefleksikan proses nasionalisme di Indonesia yang banyak mengalami kelemahan. KUPI ingin menguatkan wawasan kebangsaan mulai dari masyarakat akar rumput.
“Kita juga mengecam tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah kebangsaan. Beberapa poin penting dalam dialog kebangsaan salah satunya adalah tokoh agama menjadi rujukan jalan keluar dalam masalah kebangsaan kali ini. Kita perlu memperkuat fungsi tokoh agama agar selaras dengan kebangsaan serta ideologi keindonesiaan. Sehingga, tidak ada lagi pertentangan nilai-nilai kebangsaan saat ini dengan agama,” ungkapnya.
Selanjutnya, Zahra Amin perwakilan dari Mubadalah.id, mengungkapkan bahwa KUPI mempunyai strategi struktural dan strategi kultural dalam rencana aksi pencegahan ekstremisme.
“Kami membicarakan peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme. Perempuan tidak hanya selalu menjadi korban atau pelaku, tapi juga menjadi agen pencegahan. Perlu kolaborasi dari semua pihak. Domestifikasi perempuan adalah bibit-bibit ekstremisme yang menghalangi peran perempuan di ruang publik,” tandasnya.
Sumber: Merdeka.com
[…] kebijakan yang sensitif gender, ulama perempuan dalam KUPI kedua melakukan konsolidasi untuk mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU […]