JEPARA – Salah satu rangkaian Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II akan digelar di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Jepara pada 23-26 November mendatang. Ponpes itu telah siap menjadi tuan rumah event akbar itu dan siap menyambut para calon peserta. Selama ini ponpes tersebut jadi rujukan terkait isu kesetaraan gender hingga keberagaman.
Berlokasi di pinggir jalan raya, ponpes Hasyim Asy’ari dulunya adalah madrasah. Pada 1956, madrasah itu dinamakan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat NU, lembaga pendidikan setingkat SLTP dan SLTA.
“Saat itu, antusiasme masyarakat masih sangat rendah untuk pergi sekolah atau mondok, warga juga melihat pendidikan ini mahal. Belum terjangkau semua. Tapi lambat laun, setelah ada alumni yang ‘jadi’, masyarakat mulai melihat. Lalu minatnya mulai tumbuh,” jelas Gus Umam, salah satu anak mendiang KH. Amin Sholeh–pendiri dan penggiat madrasah ini pada awal-awal pendiriannya.
Gus Umam menceritakan Mbah Amin memiliki semangat yang tinggi supaya warga sekitar mau melanjutkan sekolah. Hal ini yang juga istri Mbah Amin, Umik Aizzah Amin ceritakan kepada wartawan Jawa Pos Radar Kudus.
Absennya kemauan untuk melanjutkan sekolah disebabkan faktor ekonomi. Apalagi, saat itu adalah kondisi pasca kemerdekaan. Perempuan khususnya sangat sedikit yang mau melanjutkan sekolah. Di awal, hanya ada 6 murid putri.
“Paling sulit mencari murid putri. Dikira putri itu cukup di dapur. Dan pelajaran SD saat itu cukup untuk bermasyarakat. Mana ada mau lanjut SMP apalagi SMA. Nah, akhirnya saya tawarkan bareng-bareng dengan Mbah Amin, keuntungannya anak kalau lanjut ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Mbah Amin juga janji tidak menarik biaya,” jelas Umik didampingi KH. Nuruddin Amin dan Hindun Anisah.
Ikhtiar Umik dan Mbah Amin
Ikhtiar Umik dan Mbah Amin akhirnya membuahkan hasil. Madrasah itu mulai berkembang. Animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi juga meningkat.
Pada 1971, nama Madrasah Muallimin diubah menjadi MTS Hasyim Asy’ari. Disusul dengan Madrasah Aliyah Hasyim Asy’ari pada 1979. Berbeda dengan sebelumnya, kurikulum madrasah juga mengalami penyesuaian.
Selain mata pelajaran yang umum, ada juga program khusus seperti belajar kitab Jurumiyyah, Alfiyah, Tafsir Jalalain, Bulughul Marom, Ilmu Falak, Mantiq, Tahrir, dan lainnya.
Mbah Amin yang juga pernah menjadi Ketua Pengadilan Agama Kudus pun akhirnya menginisiasi pendirian pondok pesantren. Sebab bagi Mbah Amin, pendidikan sangat penting.
Tak hanya itu, Umik Aizzah mengatakan perkembangan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari adalah buah dari kerja ikhlas di masa dulu. Saat harus mencari murid secara door to door hingga akhirnya masyarakat mengakuinya.
“Gelaran KUPI tahun ini tentu akan jadi acara yang membanggakan bagi pondok. Luar biasa. Itu ulamanya yang datang tidak hanya dari Indonesia tapi juga Asia,” kata Umik Aizzah bersemangat.
Sebagai informasi, pesantren Hasyim Asy’ari telah menjadi rujukan banyak pihak mengenai kesetaraan gender, lintas iman, dan keberagaman. Hal ini terbukti dengan jaringan luas yang yayasan miliki dan kunjungan dari banyak kalangan.
Sumber: Jadi Tuan Rumah KUPI II, Ponpes Hasyim Asy’ari Jepara Jadi Rujukan Isu Kesetaraan Gender (radarkudus.jawapos.com)