November 2022 jadi momentum gerakan perempuan di Indonesia. Karena perempuan bisa menitipkan sejumlah agendanya pada: pertama, muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48, di Solo, 18-20/11. Kedua, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 di Semarang dan Jepara, 23-26/11.
Ketiga, pada Komnas Perempuan, memotori peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP) se-Indonesia dimulai 25/11–10/12.
Pada K16HAKtP, ada Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara tahun 1960 pada 29/11, hari perempuan pembela HAM (women human rights defender), 29/11. Maka, fatwa yang berbasiskan perempuan, terutama korban, dapat dititipkan pada ketiganya.
Muhammadiyah-‘Aisyiyah, KUPI, dan Komnas Perempuan
Muhammadiyah-‘Aisyiyah merupakan organisasi keagamaan terbesar dunia, memiliki aset lembaga pendidikan mulai usia dini hingga perguruan tinggi, layanan/fasilitas kesehatan, dan lainnya. Kontribusi Muhammadiyah dalam penanganan covid-19, sampai Agustus 2021, lebih dari Rp1 Triliun, melibatkan 116 rumah sakit Muhammadiyah-‘Aisyiyah, pelayanan melalui klinik-klinik dengan 75 ribu relawan kemanusiaan, kesehatan, layanan sosial dan layanan keagamaan, termasuk beasiswa pendidikan yang diberikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah se-Indonesia. Kiranya tak berlebihan bila Ahmad Najib Burhani (‘Muhammadiyah’ in Oxford Islamic Studies Online, 2019) mengatakan satu-satunya yang mampu menyaingi fasilitas dan aset Muhammadiyah adalah negara.
Sedangkan KUPI, mendefinisikan ‘ulama perempuan’, orang-orang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki rasa takut kepada Allah Swt (berintegritas), pada urusan kemanusiaan secara umum dan urusan perempuan secara khusus (publik dan domestik/keluarga), berkepribadian mulia (akhlaaq kariimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ‘aalamiin) bagi perempuan dan laki-laki, sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagai aktivis perempuan yang tumbuh, berkembang di Muhammadiyah-‘Aisyiyah, KUPI, dan Komnas Perempuan, saya memiliki penilaian subyektif, obyektif, sekaligus harapan pada ketiganya. Yakni dalam hal perumusan fatwa, berdasarkan pengalaman dan suara perempuan serta arah kebijakan untuk lima tahun ke depan bagi kehidupan perempuan.
Pandangan Obyektif
Pandangan obyektif berdasarkan penelitian saya, setidaknya Muhammadiyah-‘Aisyiyah dan KUPI telah mengeluarkan fatwa yang selaras dengan jaminan perlindungan jiwa manusia, terutama perempuan dalam dharuriyyat khamsah; terutama hifzun-nafs (perlindungan jiwa, nyawa), hifzul-’aql (melindungi akal-pikiran), hifzul-irdhi (melindungi kehormatan diri).
Misalnya, Muhammadiyah-‘Aisyiyah memiliki fatwa (‘Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama’), diantaranya hukum mencatatkan perkawinan adalah wajib dan larangan nikah sirri karena merugikan perempuan dan anak (2007), perceraian harus melalui proses peradilan dan tidak sah perceraian di luar sidang pengadilan (2007), larangan khitan/sunat perempuan (2003), mempertimbangkan poligami karena sulit berlaku adil (2003), pernikahan minimal usia 21 tahun bagi perempuan dan laki-laki (2017).
Serta fatwa Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah bahwa ‘untuk mewujudkan Keluarga Sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya’ (Himpunan Putusan Tarjih, 2018:239).
Fatwa KUPI Pertama
Adapun KUPI, menghasilkan tiga fatwa (2017), dua diantaranya yakni fatwa tentang ‘Kekerasan Seksual’ sebagai sebuah keharaman, larangan menghukum korban perkosaan, kewajiban mendengarkan suara korban, perkosaan bukanlah zina dan tidak akan pernah bisa disamakan dengan zina, serta fatwa ‘Perkawinan Anak’ yakni pencegahan terhadap pernikahan anak/pernikahan dini yang menimbulkan kemudaratan hukumnya wajib.
Kedua fatwa menjadi rujukan negara dalam proses pembahasan dan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan usia minimal perkawinan 19 tahun dari 16 tahun bagi perempuan dalam perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
HeForShe dalam Perumusan Fatwa
Jamak kita ketahui, laki-laki (ulama, cendekiawan, akademisi) menganggapnya lebih otoritatif daripada perempuan dalam penyusunan fatwa. Kenyataannya, banyak ulama perempuan yang cerdas, berpengetahuan luas, otoritatif. Bahkan berbasis pengalaman perempuan dalam menyusun fatwa, sebagaimana di KUPI ataupun di ‘Aisyiyah.
Walaupun ada pula laki-laki yang memiliki keberpihakan pada perempuan dan mendukung fatwa yang adil bagi perempuan dan tidak menjadikan perempuan ‘hanya objek fatwa’.
Adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (w.1873), seorang ulama/cendekiawan, asal Mesir, tercatat sebagai orang (laki-laki) yang pertama kali mengangkat isu perempuan dalam perumusan fatwa keagamaan ataupun kebijakan publik, bahwa posisi perempuan setara dengan laki-laki.
Pengalaman PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta dalam mengampanyekan dan membangun ’16 Minggu Gerakan Zakat Nasional (16MGZN). Mulai dari Muzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban’ mendapatkan dukungan signifikan dari laki-laki. Mereka layak menyandang gelar HeForShe, karena mendukung perempuan.
Walaupun ada juga fatwa yang membahasnya adalah laki-laki, tidak berbasis pengalaman dan suara korban, maka fatwa itu justru merugikan perempuan. Misalnya fatwa ‘makrumah’ sunat perempuan.
Fatwa Zakat bagi Korban; Pengalaman, Suara Perempuan
PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta sedang berikhtiar, berijtihad agar dana zakat untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terutama korban kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual), KDRT dan incest.
Alasannya, pertama, akibat menjadi korban, perempuan dan anak menempati empat golongan (asnaf) yakni fakir, miskin, riqab, dan fi sabilillah dari delapan golongan mustahik/penerima zakat sebagaimana QS At-Taubah:60.
Kedua, mendobrak kebekuan fikih yang tidak/belum memasukkan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebagai golongan (asnaf) yang berhak atas zakat. Fikih sejatinya berevolusi pada perkembangan zaman, menjawab persoalan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi korban. Dengan mengecualikan korban dari asnaf, maka secara tidak langsung fikih tidak berpihak pada korban.
Ketiga, dengan memasukkan mereka (para korban) dalam golongan penerima zakat. Maka secara otomatis menghapuskan stigma negatif korban sebagai perempuan penggoda yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual itu. Sehingga fikih memanusiakan para korban, adanya pengakuan bahwa korban manusia terhormat. Dan menyejajarkan para korban dengan golongan musthadafin (orang yang lemah dan dilemahkan).
Zakat bagi Korban
Zakat bagi korban sebagai akses emergency. Korban selama ini masih minim dukungan: BPJS Kesehatan mengecualikan korban dan tidak berhak atas layanan kesehatan. Karena menganggapnya bukan penyakit, visum at repertum yang masih berbayar, serta proses restitusi yang panjang dan harus melalui putusan pengadilan.
Padahal, korban mengalami tekanan dan intimidasi akibat perkosaan yang korban alami. Misalnya perkosaan berkelompok di salah satu kementerian/lembaga, korban terpaksa keluar dari pekerjaannya dan menciptakan kemiskinan bagi perempuan.
Untuk itu, kami berharap penuh, dalam muktamar, kongres, serta kampanye K16HAKtP isu zakat bagi korban. Karena berbasis pengalaman dan suara korban—mendapatkan perhatian signifikan dalam agenda pembahasan. Serta arah kebijakan organisasi lima tahun mendatang. Zakat bagi korban bukan hanya selaras dengan prinsip maqasid syariah sebagai ijtihad fikih kontemporer. Tetapi juga sesuai perspektif hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan serta UU TPKS. Semoga.
Penulis: Yulianti Muthmainnah (Dosen dan Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta)
Sumber: Koran Sindo terbit Pada 16 November 2022.