Berangkat dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia I yang efektif advokasi isu-isu keadilan jender. Lewat KUPI II pada akhir November ini, diharapkan dapat lahirkan fatwa dalam membangun peradaban berkeadilan.
JAKARTA, KOMPAS — Kongres Ulama Perempuan Indonesia II akan digelar di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah, setelah lima tahun lalu sukses melahirkan fatwa berbasis perspektif perempuan. Kali ini, KUPI akan meneguhkan peran ulama perempuan untuk menciptakan peradaban yang berkeadilan. Fatwa yang lahir dalam KUPI I terbukti efektif untuk mengadvokasi isu-isu keadilan jender.
Secara umum, acara KUPI II terbagi menjadi dua klaster. Acara pertama yaitu konferensi internasional yang diikuti 20 negara akan diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, pada 23 November ini. Konferensi internasional itu rencananya akan dihadiri oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Setelah dibuka, acara dilanjutkan dengan diskusi panel yang melibatkan pembicara dari sejumlah negara.
Setelah konferensi internasional, acara dilanjutkan dengan kongres di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, pada 24-26 November. Kongres diperkirakan akan diikuti 1.600 peserta dari 34 provinsi di Indonesia.
Ketua Organizing Committee KUPI II Nyai Ruhah Masruchah dalam konferensi pers, Senin (21/11/2022), menyampaikan, peserta KUPI II meningkat tajam dibandingkan KUPI I yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, Jawa Barat, pada 2017. Pada KUPI I tercatat 500 ulama perempuan berkongres membahas tiga isu utama mengenai kekerasan seksual, pernikahan anak, serta perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial, migrasi, dan radikalisme.
Kini, KUPI II di Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri diikuti oleh 1.600 peserta dari 20 negara. Sama seperti sebelumnya, kongres juga diharapkan menghasilkan rekomendasi, fatwa, dan ikrar keulamaan perempuan Indonesia. ”Ini adalah media konsolidasi ulama perempuan di seluruh dunia. Kali ini, kami meneguhkan peran ulama perempuan untuk membangun peradaban berkeadilan,” katanya.
Masruchah menambahkan, rekomendasi, fatwa, dan ikrar keulamaan perempuan yang lahir dari KUPI I terbukti berpengaruh terhadap kebijakan publik. Pandangan KUPI dijadikan pertimbangan khusus oleh Badan Legislasi untuk mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ini dinilai berdampak bagi kemaslahatan perempuan karena publik telah melihat maraknya kasus kekerasan seksual di pesantren dan ruang-ruang publik lainnya. Perang melawan kejahatan seksual telah menjadi isu bersama saat ini.
”Fatwa KUPI juga dibicarakan oleh organisasi massa berpengaruh untuk berdialog secara strategis baik di level aktor negara maupun aktor non-negara,” katanya.
Di KUPI II ini, agenda yang dibahas akan bertambah. Ada 22 isu yang akan dibahas di dalam kongres di antaranya peran perempuan mencegah ekstremisme, perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, perkawinan anak atas nama agama, peran perempuan dalam konteks keluarga, sosial, agama, maupun fenomena peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI.
Dari jadwal acara yang diterima Kompas, diskusi panel membahas beragam isu. Isu itu mulai dari perspektif masa depan Muslim dilihat dari perkembangan positif kesetaraan jender, konsep keadilan dan keindahan pernikahan dalam Islam menuju etika dan hukum egaliter, bagaimana perempuan membangun perdamaian dengan melibatkan agama untuk keadilan jender dan sosial, tantangan membela hak perempuan di bawah demokrasi yang rapuh, gerakan penghijauan umat Muslim, keterlibatan laki-laki dalam komunitas iman, promosi jender dan kebebasan dari agama dan kepercayaan, serta gerakan perempuan Muslim di seluruh dunia antara prestasi dan kesenjangan.
Gerakan organik
Sekretaris Steering Committee KUPI II Kyai Faqihudin Abdul Qodir menambahkan, KUPI bukanlah organisasi struktur formal seperti ketua umum dan sekretaris jenderal. KUPI adalah gerakan organik yang mengolaborasikan kemampuan sumber daya manusia (SDM) terutama ulama perempuan yang bertujuan mencapai peradaban berkeadilan jender. Oleh karena itu, fatwa yang dihasilkan juga tidak bersifat mengikat seperti yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun, fatwa yang dilahirkan dari KUPI terbukti sudah efektif untuk membangun diskursus bersama hingga kolaborasi efektif dengan pemangku kepentingan, misalnya legislasi yang berpihak kepada kelompok rentan dan anak di parlemen. Demikian juga fatwa dipakai untuk mengatur di pesantren-pesantren. ”Siapa pun pemimpin bisa menggunakan fatwa KUPI untuk membuat kebijakan publik. Dua hal yang dianggap cukup berhasil adalah fatwa tentang kerusakan lingkungan hidup, serta inisiatif dalam mengolaborasikan kerja-kerja pelestarian dan kinerja lingkungan hidup,” ujarnya.
Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah mengungkapkan, salah satu prasyarat negara demokrasi bisa tumbuh dengan sehat adalah semua gerakan sosial bisa tumbuh termasuk gerakan perempuan. Agenda perlindungan hak asasi manusia berjalan beriringan dengan perlindungan HAM bagi perempuan. Perempuan hidup menjadi subyek, tidak hanya menjadi obyek dalam perumusan kebijakan terkait perempuan dan anak. Dalam konteks ini, lahirnya UU TPKS dinilai sebagai hasil nyata kerja inklusif lintas kelompok dari kalangan beragam untuk memperjuangkannya.
”UU TPKS lahir dari perjuangan perempuan di akar rumput, berkolaborasi dengan institusi kenegaraan dan ulama perempuan yang tergabung di KUPI,” katanya.
Agenda-agenda strategis ini, katanya, harus terus dibangun dan disuarakan untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual. Suara korban harus didengarkan. Demikian pula suara perempuan dalam hal kepemimpinan juga harus diberi ruang dan didengarkan. Ke depan, agenda KUPI harus bisa menyelaraskan antara perspektif perempuan di Indonesia dan praktik-pratik di belahan dunia lainnya.
Ruby juga menyebut bahwa gerakan perempuan di Indonesia sudah cukup maju dibandingkan dengan di negara Islam lainnya. Di Iran, misalnya, masih ada kebijakan konservatif di mana penggunaan model jilbab dipaksakan terhadap perempuan. Penegakan aturan itu bahkan lebih diutamakan dibandingkan keselamatan nyawa perempuan. Menguatnya konservatisme di tengah modernitas masyarakat ini harus kembali dipertanyakan. KUPI diharapkan menjadi acara strategis untuk menjunjung tinggi penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, dibandingkan dengan hal-hal yang simbolik.
”KUPI akan menegaskan kembali esensi beragama kita, bagaimana kita beragama dan berpikir secara waras,” ungkapnya.
Menurut dia, gap dan tantangan terkait keadilan gender masih terlihat nyata di sejumlah negara. Bahkan, gerakan perempuan bisa terancam kembali ke titik nol apabila pemimpin sebuah negara itu konservatif. Oleh karena itu, untuk memperkuat pilar demokrasi, pemimpin masa depan mutlak harus berperspektif melindungi perempuan, serta pro-moderasi beragama dalam konteks keberagaman. Dengan demikian, kualitas demokrasi suatu negara dapat terjamin secara substantif. []
Sumber: Kompas.id
[…] Dalam pandangan solidaritas Durkheim, perbedaan-perbedaan dalam masyarakat seharusnya menyatukan kita berdasar pembagian kerja sesuai kapasitas masing-masing. Maka, dalam hal sosiologi hantu untuk peradaban berkeadilan, adalah penggambaran sepatutnya untuk golongan manusia membantu golongan hantu perempuan dalam perjuangan untuk keadilan. […]