Pendahuluan
Tema pesantren dan keulamaan perempuan di Indonesia merupakan tema yang sangat penting untuk didiskusikan dalam forum Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang baru pertama kali diadakan ini. Beberapa diantara nilai signifakansinya dari sisi internal pesantren, tema ini dapat dibuka untuk menakar peran pesantren terhadap tumbuh suburnya keulamaan perempuan di Indonesia. Kedua dari sisi pergerakan isu-isu gender dan Islam di negeri ini, tema ini dapat dijadikan sebagai salah satu barometer wacana Islam yang terbuka dan selaras dengan perkembangan isu-isu sosial maupun global tentang perempuan.
Persoalannya yang kemudian muncul adalah tentang bagaimana respon pesantren itu sendiri terhadap keulamaan perempuan. Apakah pesantren memberikan respon yang positif terhadap tumbuh suburnya ulama-ulama perempuan, ataukah justru sebaliknya? Sejauh mana peran pesantren terhadap lahirnya ulama-ulama perempuan di negeri ini? Serta apa saja yang menjadi kendala di kalangan pesantren untuk ikut serta menyuarakan pesan-pesan penting ulama perempuan di negeri ini? Ini yang akan ditelaah bersama pada sesi ini, dengan menggunakan perspektif yang penulis alami sendiri selama mesantren di pondok pesantren Babakan Ciwaringin.
Dalam menganalisa fenomena ini penulis meminjam kerangka teori yang pernah digunakan oleh Abraham Silo Wilar ketika ia meneliti tentang Perempuan NU yang tertuang dalam bukunya NU Perempuan, Kehidupan dan Pemikiran Kaum Perempuan NU. Wilar mengetengahkan tiga prototype masyarakat dalam merespon keadaan secara religious, yaitu masyarakat monocultural, masyarakat semi multicultural, dan masyarakat total multicultural. Situasi sosiologis dan situasi historis pada masyarakat tertentu sangat berpengaruh bagi pembentukan persepsi dan respon masyarakat tersebut. Mereka yang lahir dan besar dalam situasi masyarakat yang monocultural Islam misalnya, akan terbentuk pada jiwa mereka apa itu Islam dan bagaimana menjadi muslim sejati. Persepsi yang terbentuk tentang apa itu Islam serta perilaku yang ditampilkan oleh mereka yang hidup dalam suasana monolitik akan berbeda dengan persepsi dan perilaku mereka yang berada dalam suasana social yang semi multicultural, apalagi yang total multicultural.
Sebagai salah seorang alumni, penulis setidaknya dapat menyajikan informasi-informasi awal yang sangat penting dalam memotret bagaimana respon pesantren terhadap keulamaan perempuan. Dari informasi ini kemudian dapat ditindaklanjuti dalam penelitian atau kajian yang lebih serius untuk menelisik peran penting pesantren terhadap lahirnya para ulama perempuan di negeri ini.
Potret Pesantren Babakan di Mata Penulis
Penulis mengenal pesantren Babakan sejak masih mengaji di kampung dari sosok kiyai yang mengenalkan kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren yang kebetulan adalah alumni dari pesantren Babakan. Beberapa senior yang telah tamat pendidikan dasar yang mengaji kepada Kiyai benyak yang melanjutkan pendidikannya di Pesantren Babakan Ciwaringin. Sejak itulah penulis bercita-cita untuk melanjutkan belajar ke Pesantren Babakan Ciwaringin, meskipun waktu itu sekolahnya di Cirebon. Salah satu dambaan yang ingin diraih dengan melanjutkan belajar ke Pesantren Babakan adalah agar mampu menelaah dan mengkaji kitab-kitab turats yang lebih dikenal dengan kitab kuning. Demikian pada umumnya yang ingin diraih oleh para santri yang ingin melanjutkan belajarnya di pesantren tradisional termasuk Babakan Ciwaringin.
Sebelum melanjutkan pendidikan di Pesantren Babakan, penulis telah mengenal beberapa kitab kuning yang telah dipelajarinya dari kiyai di kampung halaman. Sehingga saat belajar di pesantren, tidak seperti santri baru lainnya, penulis sudah familiar dengan beberapa kitab yang kemudian dipelajarinya itu. Sang Guru, Allahumma yarham, KH. Muhammad, Pengasuh Pesantren Kebon Melati yang kemudian menjadi Kebon Jambu berpesan agar lebih mengutamakan mengaji dari pada sekolah, bukan sebaliknya. Motivasi yang terus menerus diberikan kepada para santrinya, mendorong santri untuk terus mengejar kemampuan membaca kitab kuning dan mengkaji ilmu-ilmu keisalaman. Memasuki tahun ketiga di pesantren, oleh sang Guru penulis sudah diberi kepercayaan untuk mengajar sorogan, baik Al-Quran maupun kitab kuning.
Saat pertama kali masuk pesantren di Babakan pada awal tahun 1990-an penulis belum memahami tentang wacana-wacana gender atau keulamaan perempuan di pesantren, selain dari mengenal adanya beberapa tokoh Nyai Pengasuh Pesantren dan beberapa pesantren dan madrasah di dalam pesantren yang takhassus untuk santri-santri perempuan seperti Madrasah Muallimat Alhikamus Salafiyah (MMHS), dan beberapa pesantren khusus putri lainnya. Pesantren Babakan Ciwaringin terdiri atas komplek-komplek pondok pesantren dengan pengasuh dan pimpinan pesantren yang tidak hanya para kiyai tapi juga para nyai, terutama pesantren-pesantren yang takhassus untuk putri. Di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin terdapat tidak kurang dari 25 komplek pondok pesantren, yang hampir rata-rata menyediakan asrama bagi santri putri dengan program dan pengajian yang berorientasi pada fiqhun nisa, dan penyiapan kader-kader ulama perempuan. Keberadaan para nyai pengasuh pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan takhassus bagi santri perempuan tersebut menempati peran yang strategis bagi lahirnya tokoh-tokoh ulama perempuan dari pesantren. Hal ini sekaligus menjadi salah satu bukti kuat bahwa pesantren Babakan Ciwaringin, seperti halnya pesantren pada umumnya merespon secara positif terhadap pendidikan kader ulama perempuan dari pesantren.
Orientasi pendidikan santri putri pondok pesantren Babakan Ciwaringin tidak muluk-muluk, setidaknya dapat mengantarkan mereka mampu menjadi pendidik bagi keluarga dan anak-anaknya serta mampu eksis di tengah masyarakat. Nyatanya tidak sedikit lulusan pesantren Babakan kemudian tampil menjadi khadimatul ummah (pelayan masyarakat), baik menjadi ustadzah, muballighah, maupun penggerak masyarakat.
Kendatipun komplek asrama pondok pesantren Babakan ini sangat banyak tersebar di bagian utara dan selatan pelosok desa Babakan, para santri dapat dengan leluasa untuk mengaji di komplek-komplek asrama tersebut dari para ustadz dan kiyai yang berbeda. Sistem ini masih tetap dipertahankan, terutama bagi santri-santri senior yang telah memiliki cukup bekal untuk mengkaji berbagai bidang kajian ilmu dari para kiyai. Santri-santri senior yang telah dianggap mampu mengajar atau telah mendapat predikat ustadz, tidak sedikit yang ditugaskan mengajar termasuk di komplek-komplek pesantren yang takhassus untuk putri. Mengingat masih terbatasnya jumlah ustadzah dan nyai yang dapat mendedikasikan dirinya untuk mengajar di komplek-komplek pesantren tersebut. Penulis sendiri saat menginjak usia santri senior dan dianggap cakap mengajar kepada santri yunior pernah ditugaskan mengajar di beberapa komplek santri putri tersebut.
Seiring berjalannya waktu, system pengajaran di pondok pesantren Babakan Ciwaringin mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan formal dari mulai tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, bahkan perguruan tinggi. Kondisi ini merubah wajah baru pendidikan pesantren yang tidak hanya berorientasi pada tafaqquh fiddin, tapi juga berorientasi pada pencapaian daya saing di bidang sains dan pengetahuan modern. Lulusan pesantren tidak hanya diharapkan dapat melanjutkan pada pendidikan tinggi keagamaan seperti IAIN-UIN atau ma’had Aly tapi juga diharapkan mampu melanjutkan ke perguruan tinggi umum. Dalam konteks kaderisasi ulama, termasuk ulama perempuan memang mengalami satu kendala tersendiri karena semakin menipisnya minat dan kemauan santri untuk mendalami keilmuan Islam secara lebih komprehensif. Oleh karena itu pesantren Babakan Ciwaringin lima tahun belakangan telah menginisiasi lahirnya Ma’had Aly dalam rangka memupuk minat dan memberikan dorongan kepada para santri untuk mendalami keilmuan Islam dan dalam rangka kaderisasi ulama. Hanya saja Ma’had Aly ini masih didominasi oleh santri-santri putra dalam rangka kaderisasi ulama laki-laki, belum mampu mendorong santri-santri putri dalam rangka kaderisasi ulama perempuan.
Respon Terhadap Keulamaan Perempuan: Belajar dari Nyai Hj. Masriah Amva
Sebagai santri yang telah lama tinggal di pesantren Kebon Melati kemudian pindah mengikuti Sang Guru ke komplek pesantren baru Pesantren Kebon Jambu sangat memahami betul, betapa peran sentral Almarhum Akang (sebutan alm. KH Muhammad oleh para santri). Beliau adalah sosok yang sangat berwibawa dan figur yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun, baik di mata para santri maupun keluarga. Kendatipun berbagai ujian berat bertubi-tubi menimpa beliau tetapi dengan ketabahan dan ketekunannya beliau dengan para santri mampu melewatinya dengan baik sehingga pesantren Kebon Jambu yang baru dirintis dari nol setelah pindah dari komplek Kebon Melati pun mulai berkembang pesat.
Di sini penulis sebagai santri dapat ikut mengamati bagaimana perjalanan hidup Akang dengan Yayu (panggilan akrab untuk Bunda Nyai Hj. Masriyah) yang telah mengalami berbagai ujian kemudian dapat bangkit dan berkembang. Dari sini pula penulis dapat mengamati bagaimana sosok kiyai yang memberikan kesempatan kepada sang istri untuk berkiprah dan mengembangkan berbagai potensi jejaring social, yang kemudian begitu besar pengaruhnya dalam menopang dan menjadi kekuatan sang Istri di saat-saat terpuruk oleh karena ditinggal beliau.
Ujian berat yang diterima keluarga besar Pesantren Kebon Jambu menjadi titik balik bagi Yayu untuk bangkit dan meraih kekuatan yang maha dahsyat, kekuatan dari Yang Maha tidak terbatas, Allah Swt. Kecanggihan spiritual yang selama ini telah dipupuknya mendorong terbukanya hijab-hijab keulamaan sosok Nyai Hj. Masriyah Amva, dengan terbitnya karya-karya beliau yang terus mengalir bagai mata air yang jernih serta mampu menyegarkan siapapun yang mau meneguknya. Tidak kurang dari 16 karya yang telah beliau hasilkan dalam kurun waktu yang tidak lebih dari tiga tahun. Karya-karya beliau kini telah menghiasi perpustakaan-perpustakaan pesantren dan terus menjadi inspirasi bagi siapapun yang ingin bangkit dari keterpurukan dan mengejar mimpi-mimpi masa depan.
Karya-karya Nyai Hj. Masriyah dapat dijadikan sebagai bukti kuat respon pesantren terhadap keulamaan perempuan yang sangat menonjol. Beliau mampu tampil menjadi sosok yang dapat meneruskan perjuangan sang Suami mendidik para santri dan membesarkan keluarga yang sedang membutuhkan banyak perhatian orang tua. Karya-karya tulis beliau merupakan rekaman perjalanan spiritual yang dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi siapapun sekaligus mencerminkan sosok keulamaan perempuan yang tangguh.
Penutup
Potret Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin yang terus mengalami perubahan wajah dan system pendidikan, serta sosok Nyai Hj. Masriyah Amva yang terus berkarya menunjukkan daya lentur dan fleksibilats pesantren terhadap berbagai perkembangan. Respon pesantren terhadap keulamaan perempuan terus menerus mengalami perkembangan menyesuaikan dengan diskursus yang terus menerus berkembang di kalangan warga pesantren itu sendiri.
Lahirnya lembaga-lembaga pendidikan takhassus bagi santri putri sejak awal merupakan bukti konkrit keberpihakan pesantren terhadap pengarusutamaan perempuan. Hanya saja ini belum mendukung bagi terlahirnya sosok ulama perempuan yang mumpuni, karena levelnya baru pada tingkat pendidikan menengah dan target utamanya adalah mampu membekali mereka dengan dasar-dasar pendidikan perempuan sebagai calon pendidik bagi keluarga dan anak-anaknya.
Untuk sebuah pesantren yang usianya telah menginjak hampir tiga abad, sudah selayaknya mendirikan lembaga pendidikan tinggi yang takhassus untuk melahirkan sosok-sosok ulama perempuan. Ma’had Aly takhassus bagi calon ulama perempuan sudah sepantasnya dibuka untuk mengatasi kesenjangan dan kekurangan sosok ulama perempuan saat ini dan di masa mendatang. []
(Disampaikan dalam Diskusi Paralel Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, 26 April 2017).